Selasa, 12 Agustus 2008

BEBERAPA PERTANYAAN TENTANG TEKNIK PERESAPAN AIR BUATAN

1. Bagaimana dengan kondisi pemanfaatan air tanah di Indonesia pada saat ini?

Kondisi pemanfaatan air tanah (dengan menggunakan sumur bor dalam dan dangkal serta sumur gali) di sebagian daerah di Indonesia ada yang masih berada dalam kondisi pemanfaatan air tanah yang dikategorikan aman, misalnya di Cekungan Air Tanah Umbulan (Pasuruan), Cekungan Air Tanah Limboto dan lain sebagainya, namun di sebagian daerah lainnya menunjukkan kondisi pemanfaatan yang berada dalam fase penambangan. Contoh untuk daerah yang sudah berada dalam fase ini berdasarkan data yang ada adalah kondisi pemanfaatan air tanah yang berlangsung di Cekungan Air Tanah Bandung, Cekungan Air Tanah Jakarta, Cekungan Air Tanah Semarang dan lain-lain.

Kondisi pengambilan aman adalah kondisi pemanfaatan air tanah (artificial discharge, extraction) dari suatu sistem air tanah, yang bersama dengan keluaran alaminya (natural discharge), besarnya seimbang dengan imbuhan alami atau peresapan alami (natural recharge) air tanah dan peresapan yang berlangsung secara tidak sengaja (peresapan melalui daerah persawahan, kolam-kolam genangan dan bangunan buatan manusia lainnya).

Kondisi penambangan adalah kondisi pemanfaatan air tanah dari suatu sistem air tanah, yang bersama dengan keluaran alaminya, besarnya melebihi imbuhan alami air tanah dan imbuhan yang berlangsung secara tidak sengaja.
Pada akhirnya dalam jangka panjang hal ini menyebabkan kemampuan pemanfaatan air tanah yang menjadi terus berkurang ketika simpanan air tanah yang besarnya ekivalen dengan imbuhan alami sudah dilampaui, dan simpanan mati atau dead storage terus menyusut (dalam bentuk terus menyusutnya permukaan air tanah, yaitu muka air tanah bebas atau muka air tanah pisometrik), yang menimbulkan berbagai masalah. Masalah selain menyusutnya cadangan atau simpanan air tanah, terjadinya amblasan tanah, munculnya daerah depresi genangan air hujan pada musim hujan, terjadinya intrusi air laut di daerah pantai dan lain sebaginya.

Kondisi campuran sudah memasukkan skema adanya imbuhan buatan (artificial recharge), yang dilakukan secara sengaja dengan membuat bangunan peresapan, dengan menggunakan sumber air baik dari air hujan ataupun dari air permukaan (air sungai, air danau dan lain sebagainya). Pengaruh dari perubahan fungsi lahan terhadap besarnya imbuhan alami, juga termasuk dalam tinjauan ini.


2. Kalau begitu, bagaimana memperbaiki kondisi air tanah yang sudah berada dalam fase penambangan?

Pekerjaan memulihkan kondisi air tanah yang bersifat regional sangat sulit dilakukan dan pemulihan bisa berlangsung lama sekali. Salah satu solusi yang kurang populer adalah menutup semua atau sebagian besar sumur-sumur bor agar supaya cadangan air tanah menjadi meningkat lagi dengan mengandalkan pada besarnya imbuhan alami yang menyumbang ke dalam sistem air tanah. Namun muncul masalah lainya, yaitu jika ternyata daerah peresapan alaminya telah mengalami perubahan menjadi daerah kedap air, yang memaksa imbuhan alaminya menjadi menyusut. Jika air tanah berada dalam keadaan sedang dimanfaatkan, maka pelarangan pengambilan air tanah bisa menimbulkan konsekuensi yang luar biasa, terutama pada daerah-daerah industri, permukiman, perdagangan, pariwisata dan lain sebagainya.
Solusi yang lebih sederhana dan bisa dikerjakan antara lain dengan memanfaatkan:
1) Teknologi sumur resapan (bersifat masal)
2) Teknologi SURATAN (sumur resapan dan pemanfaatan)
3) Teknologi SUSURATAN (sumur-sumur resapan dan pemanfaatan)
4) Teknologi SUMINTAN (sumur-sumur injeksi dan pemanfaatan)
5) Teknologi SUSUINTAN (sumur-sumur injeksi dan pemanfaatan)
6) Teknologi ABSAH (Akuifer Buatan & Simpanan Air Hujan)
7) Teknologi Kelder
Ketujuh teknologi ini digabungkan dengan teknologi pemanenan air hujan (rain water harvesting), dan ini berarti bahwa sumber air yang diresapkan adalah air hujan yang jatuh pada atap bangunan dan dialirkan ke dalam sumur melalui talang. Ini merupakan teknologi konservasi air dan sekaligus juga teknik pendayagunaan air.
Dari ketujuh teknologi ini, teknologi SUMINTAN dan SUSUINTAN untuk sementara tidak dianjurkan untuk diterapkan, karena untuk penginjeksian memerlukan energi yang saat ini tergolong sudah mahal.
Teknologi sumur resapan secara masal diterapkan dengan membuat sumur-sumur gali peresapan (baik yang kedalamannya belum dapat mencapai muka air tanah setempat maupun yang sampai mencapai muka air tanah setempat). Teknologi ini tidak boleh diterapkan pada lokasi-lokasi yang rawan longsoran (misalnya di daerah perbukitan di Balikpapan dan mungkin untuk sebagian P. Kalimanatan) dan yang berkelerengan terjal.
Teknologi SURATAN dan SUSURATAN (bisa dilengkapi dengan bangunan penyaring) bisa diterapkan dengan membuat sumur gali atau sumur bor dangkal (pada akuifer bebas atau dangkal) atau sumur bor dalam pada akuifer terkekang atau semi terkekang yang muka airnya sudah cukup dalam sebagai akibat pemanfaatan air pada masa lalu. Dengan teknologi-teknologi ini pemanfaatan air tanah bisa saja tetap berlangsung dengan peresapan air yang terjadi pada musim hujan. Namun teknologi ini sangat baik diterapkan di suatu tempat apabila tetangga-tetangga di sekitarnya juga menerapkan hal yang sama. Jika tidak, maka membuat bangunan ABSAH menjadi pilihan.


3. Apa yang dimaksud dengan teknologi ABSAH dan teknologi kelder?

Sejak tahun 1994 telah diperkenalkan suatu teknologi konservasi dan pendayagunaan air hujan yang disebut dengan teknologi ABSAH (AKUIFER BUATAN DAN SIMPANAN AIR HUJAN), yang diharapkan dapat dilakukan secara masal dalam sistem klaster (cluster) atau untuk kepentingan sendiri (rumah tangga misalnya). Sumber air adalah air hujan yang tertangkap oleh atap bangunan rumah, gedung sekolah, kompleks perkantoran, pabrik-pabrik dan lain sebagainya. Teknologi ini merupakan kombinasi dari imbuhan buatan dan akuifer buatan, di mana imbuhan buatan tidak dilakukan terhadap akuifer alami yang ada di alam tetapi ke akuifer buatan, yang disusun dari batuan-batuan yang bersifat unconsolidated dan bisa berfungsi menyerupai akuifer alami. Teknologi ini menggunakan akuifer buatan dalam bentuk suatu susunan lapisan (bisa secara vertikal dan bisa horisontal). Akuifer buatan (kerikil, pasir kasar, pasir sedang, pasir halus, puing bata merah, onggokan batugamping, arang batok atau kayu, ijuk) ini ditempatkan dalam bak akuifer buatan, yang dasar dan dindingnya bersifat kedap air.
Bangunan ABSAH selengkapnya terdiri dari bak pemasukan air, bak akuifer buatan, bak reservoir dan bak pemanfaatan air, di mana ruang antar bak dihubungkan oleh suatu rooster dan ijuk. Dengan demikian, semua proses pemasukan air, pergerakan air dalam akuifer buatan, penyimpanan air dan pengambilan air berada dalam bangunan yang terkendali.
Akuifer buatan ini berfungsi selain sebagai filter, juga bertindak sebagai media penambah mineral melalui kontak butir material batuan dengan air, serta menirukan proses fisik, kimia dan biologis seperti yang terjadi dalam akuifer alami. Proses gerakan air di dalamnya diusahakan berjalan lambat (aliran laminer) dan dengan lintasan yang panjang. Untuk menjaga temperatur air konstan, mencegah sinar matahari dan polusi dari luar masuk, serta mencegah pertumbuhan ganggang dalam air, maka hampir seluruh bangunan ini dibuat tertutup rapat dan ditanam sebagian ke dalam tanah.
Teknologi ini cocok untuk mengatasi masalah penyediaan air baku misalnya di pulau-pulau kecil dan sudah diterapkan di P. Miangas, P. Hiri, P. Lombok, P. Pasi dan berbagai tempat lain di P. Jawa dan P. Sumatra, serta sudah ditiru oleh berbagai pihak. Teknologi ABSAH juga bisa dikombinasikan dengan bangunan embung, telaga, kaptering mata air dan lain sebagainya, namun harus melalui prapengolahan ringan terlebih dahulu (tergantung dari kualitas sumber airnya).
Bangunan ABSAH bisa dibuat menyatu dengan bangunan tempat tinggal atau gedung-gedung, dan bisa juga dibuat terpisah. Bangunan ABSAH juga bisa dipakai untuk menimpan air hujan yang akan diimbuhkan ke sumur dalam atau dangkal secara gravitasi ataupun secara injeksi.
Bangunan ABSAH sudah dibuat pula oleh pihak lain yaitu di Museum Volkanologi di Bali, Satu buah dibuat di Kuta, Lombok, dan satu lagi di Poto Tano di Sumbawa.
Teknologi kelder juga memanfaatkan air hujan, terutama air hujan yang jatuh pada daerah pertamanan, tempat parkir dan fasilitas umum lainnya. Di bawah bangunan fasilitas-fasilitas ini, diberikan kemudahan air hujan untuk masuk ke dalam ruangan di bawahnya melalui penyangga-penyangga beton berlubang pada bagian tengahnya, yaitu untuk aliran air ke bawah dan diberi semacam penyaring (untuk penerapan di Indonesia bisa digunakan ijuk yang mudah dicuci).

4. Kesimpulan dan saran apa yang bisa disampaikan pada para pemirsa atau para stakeholder bidang penyediaan air baku?

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) Untuk penerapan di Indonesia, sebaiknya sumber air untuk imbuhan buatan berasal dari air hujan yang dipanen melalui atap bangunan dan talang, dan tidak menggunakan air permukaan atau air buangan, karena biaya reklamasinya dan biaya prapengolahan masih tergolong mahal.
2) Selain itu metode yang digunakan sebaiknya dilakukan dengan cara gravitasi dan bukan injeksi, baik yang melalui sumur gali maupun sumur bor. Namun jika telah dipahami dengan benar implikasi yang akan muncul dan ada kesediaan untuk mengatasinya dan tersedia tindakan pengamanan yang memadai, maka metode injeksi boleh saja dilakukan.
3) Setiap pembuatan sumur bor baru untuk pemanfaatan air tanah di daerah industri, harus dibuat sumur bor baru pula untuk imbuhan air tanah. Untuk industri yang sudah lama menggunakan air tanah dalam, sumur-sumur lama yang sudah tak terpakai tidak boleh ditutup, dan harus digunakan untuk pelaksanaan skema imbuhan buatan air tanah. Tentunya dengan memakai sumber air hujan yang tertangkap pada atap bangunan industri, yang pada umumnya sangat luas. Ketentuan ini sebaiknya dituangkan dalam peraturan daerah setempat.
4) Untuk daerah-daerah sulit air, pulau-pulau kecil, atau daerah yang hanya mempunyai sistem air tanah yang sangat lokal dan tidak begitu luas, penerapan teknologi kombinasi konservasi dan pendayagunaan air seperti yang telah diuraikan harus mendapatkan prioritas. Tidak semua tempat cocok diterapkan sumur imbuhan air tanah, misalnya di daerah karst Gunung Kidul, namun teknologi lainnya seperti bangunan ABSAH akan sangat membantu pengadaan air baku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pada lokasi tersebut.
Ketentuan yang tercantum dalam kesimpulan di atas sangat cocok diberlakukan untuk negara-negara berkembang, sebelum masyarakatnya bisa mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi seperti di negara maju.
Hal-hal yang bisa disarankan untuk mengatasi sejumlah permasalahan kekurangan air di Indonesia antara lain:
1) Menerapkan teknologi yang cocok dengan situasi di Indonesia pada umumnya dan kondisi setempat pada khususnya.
2) Jika Perusahaan Daerah Air Minum selama ini baru bisa melayani daerah perkotaan, maka sudah saatnya hak yang sama juga dimiliki oleh orang perdesaan di daerah sulit air, dengan teknologi yang sesuai dengan keadaan.
3) Oleh karena itu, untuk mereka, sudah saatnya pemerintah daerah maupun pusat, mengembangkan apa yang disebut penyediaan air baku mandiri (misalnya bangunan ABSAH) yang sustainable, ramah lingkungan dengan biaya operasi dan pemeliharaan yang sangat murah (sehingga tidak menjadi beban pemerintah), sehingga permasalahan yang selalu berulang kali tentang kekurangan air untuk kebutuhan hidup sehari-hari tidak akan terjadi lagi.
Alasan utama dari saran ini adalah curah hujan di Indonesia masih tergolong tinggi, dan jika teknologi tepat guna bisa memasukkan azas pengurangan evaporasi secara lokal (bukan regional) dan melaksanakan pemanenan air hujan serta pelaksanaannya bisa diterapkan secara masal, maka masalah kekurangan air khususnya untuk keperluan sehari-hari tidak perlu terjadi.